Jejakkriminal👣Maros, Sulsel– Komisi I DPRD Kabupaten Maros menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 3 Juni 2025 terkait sengketa lahan antara PT Angkasa Pura dan warga di lingkungan Kadieng, Kecamatan Mandai. Sengketa ini mencuat akibat klaim atas tanah yang telah dihuni warga selama puluhan tahun.
Dalam RDP tersebut, sejumlah warga menyampaikan keresahan mereka terhadap status lahan yang ditempati. Mereka menegaskan bahwa pemukiman di kawasan Kadieng telah ada jauh sebelum terbitnya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 02 Tahun 1993.
DPRD Siap Fasilitasi Hingga ke Kementerian
Ketua Komisi I DPRD Maros menyatakan komitmennya untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa ini hingga ke kementerian terkait. “Kami akan mengawal proses ini agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama masyarakat,” ujarnya.
Angkasa Pura Klaim HPL Sah Sejak 1993
Perwakilan PT Angkasa Pura, Abdul Kadir Usman dari Divisi Administrasi dan Aset, menjelaskan bahwa lahan yang disengketakan memiliki dasar hukum yang sah, yakni HPL No. 02/1993. Ia menyebut, lahan tersebut sebelumnya merupakan aset Kementerian Pekerjaan Umum (PU), yang kemudian dialihkan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada 1987, dan sejak 1991 dikelola oleh PT Angkasa Pura.
“HPL tersebut sudah diterbitkan sejak tahun 1993 dengan luas hampir satu juta hektar. Dasar kami jelas dan resmi,” tegas Abdul Kadir.
BPN: HPL Diterbitkan Sesuai Prosedur
Kepala Kantor BPN Maros, Murad Abdullah, yang turut hadir dalam rapat, membenarkan bahwa HPL No. 02/1993 diterbitkan secara sah. “Secara formal, semua syarat administrasi telah dipenuhi. Jika perkara ini berlanjut ke pengadilan, kami akan tetap mempertahankan produk hukum yang kami keluarkan,” ujarnya.
Namun terkait permintaan untuk menghadirkan BPN kembali dalam RDP lanjutan, ia menyebut hal itu bukan menjadi kewenangan pihaknya kecuali berdasarkan hasil mediasi resmi.
Warga: Bayar PBB, Tapi Diblokir Sejak 2024
Salah satu warga, Asen Rudol Buyung, pensiunan pegawai Kanwil Perhubungan yang tinggal di rumah dinas sejak 1999, menyampaikan kegelisahannya. “Saya masih membayar PBB sampai 2023, tapi sejak 2024 data saya diblokir oleh Angkasa Pura. Kami tinggal berdasarkan SK Menteri, dan rumah yang kami tempati bukan termasuk Blok G, H, atau I yang diklaim,” jelasnya.
Ia mengaku mendapat intimidasi tahunan untuk menandatangani kontrak atau membayar sewa. “Kalau memang lahan ini akan diambil alih, kami harap ada kompensasi yang layak,” tegas Asen.
Warga Klaim Sudah Tinggal Sejak 1942
Widarsono, perwakilan warga Kadieng, menambahkan bahwa pemukiman sudah ada sejak tahun 1942 dan saat ini dihuni oleh hampir 300 kepala keluarga (KK). Ia mempertanyakan keabsahan pemblokiran PBB yang baru dilakukan pada 2024, padahal HPL diterbitkan pada 1993.
“Kenapa baru sekarang PBB warga diblokir? Jangan sampai dokumen peralihan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Apalagi pengukuran lahan dilakukan sepihak,” tegasnya.
Harapan Akan Solusi yang Adil
Masyarakat berharap ada penyelesaian yang adil melalui mekanisme negara yang sah. Sengketa ini dinilai tidak hanya menyangkut kepemilikan lahan, tetapi juga hak-hak dasar warga yang telah bermukim secara turun-temurun.
(mr/ar)